Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2016

Rumah kita yang hangat

taukah kau kawan? berapa besar kehangatan matahari yang sudah semakin tua? berapa besar kehangatan api yang tiap pagi membakar periuk nasi di dapur rumah kita? ah, kurasa semua tak lebih hangat dari suasana yang kita ciptakan di rumah. semua tak lebih hangat dari sepotong pagi di mana ibu kita dengan semangatnya menyiapkan nasi hangat untuk kita, lalu dengan semangat pula ia akan marah ketika nasi hangatnya itu tak sempat kita santap semua tak lebih hangat dari rumah, di mana kita pernah dihangatkan dengan sebuah pelukan hangat ketika dingin mencoba memeluk kita. semua tak lebih hangat dari secangkir kopi yang tiap pagi diseruput ayah kita di teras rumah. semua tak lebih hangat dari sebuah malam di mana kita berkumpul hanya untuk sekedar berebut remote TV Namun, seiring matahari yang terus menua sampai periuk yang digunakan itu kini menghitam kehangatan itu sedikit memudar karena satu per satu dari unsurnya harus pergi meninggalkan rumah kita yang hangat ketika mereka h...

Hujan itu

Kau menyeduh segelas coklat panas lalu duduk di depan jendela. Biskuit kaleng yang isi nya tinggal setengah itu kau sandingkan dengan segelas coklat panas yang mengepulkan asap manis di atasnya. Namun sedikitpun kau tak menyentuhnya. Kau duduk bersila di kursi kayu. Matamu tak lepas dari hujan yang turun dengan rapat di luar sana. “Ah, hujan yang sama” katamu dalam hati. Hujan yang selalu berhasil mencuri perhatianmu. Katamu, suatu hari, sejauh ingatanmu yang masih dapat kau gali, hujan yang pernah kau temui selalu jatuh dengan irama yang sama. Entah itu gerimis atau lebat sekalipun. Seperti hujan yang lagi-lagi membungkus kota kita sore ini misalnya, kau menatapnya seperti bertemu dengan seorang teman lama yang sudah tidak lagi mengenalimu. Kau diam-diam memandangnya dari kejauhan tanpa satu pun kata, tanpa berniat untuk memperkenalkan dirimu kembali. Hanya matamu saja yang berbicara. Hanya matamu saja yang masih dapat ku baca, bahwa kau dan hujan itu, sepertinya pernah berada d...

Tentang kopi malam kemarin dan rindu yang menyusul sesudahnya

Selasa malam, 18 oktober 2016 Pada malam yang lagi-lagi mendung ini, aku mencoba segelas kopi pancung hitam seperti yang biasanya digemari oleh kebanyakan kaum laki-laki. Malam ini, aku kembali menyusup bersama anak-anak bidang mrk. Menyaksikan mereka yang dengan sibuk-sibuknya mengerjakan tugas. Dan karena salah satu teman laki-laki yang memesan kopi pancung hitam itu, melihatnya menyesap pelan-pelan kopi hitam yang menebarkan asap dari permukaannya, aku jadi penasaran bagaimana rasanya kopi hitam yang membuat orang-orang betah berlama-lama di warung kopi itu. Sesaat kemudian, kopi pancung hitam yang berbuih di atas nya itu terhidang di depanku. Asap yang keluar dari permukaannya mengeluarkan bau sedap. Aku mengaduk pelan gula yang mengendap di punggung gelas lalu menyesapnya menggunakan sendok kecil. Pahit. Tidak ada lain yang terasa di lidahku selain rasa pahit. Ini bukan pertama kalinya aku minum kopi. Tapi kopi yang biasanya aku minum rasanya tidak sepahit ini. Dan kopi yang...

I wish that I could wake up with amnesia and forget about the stupid little things

Selalu ada hal-hal yang ingin kita lupakan dalam hidup. Selalu ada hal yang ingin kita buang. Namun sayangnya, terkadang, sesuatu yang tidak ingin kita ingat malah menjadi sesuatu yang dengan senang hati mondar-mandir dalam kepala kita. Hal-hal yang ingin kita kuburkan dalam-dalam sampai terlupakan terkadang malah lebih tinggi eksistensi nya dalam otak kita. terkadang kita malah lebih mengingat sesuatu yang padahal sebenarnya ingin kita lupakan itu. Dan karena alasan-alasan seperti itulah sepenggal lirik dari lagu Amnesia milik Five Second of Summer itu seperti menggambarkan apa yang sekali-sekali kita inginkan. Seperti sepenggal lirik lagu itu, kita terkadang berharap agar kita diberikan kesempatan untuk terbangun besok pagi dalam keadaan Amnesia, sehingga hal-hal bodoh yang sering mengganggu kita itu dapat terlupakan dengan mudah. Atau seperti dalam novel Hujan nya Tere Liye, sepertinya kita sudah mulai membutuhkan teknologi yang dengan mudah dapat menghapus ingatan tentang hal-hal...

Delapan Belas Oktober yang Lagi-lagi Hujan

Kita selalu mengeluh setiap kali harus menunggu. Apapun itu. Menunggu adalah hal yang mungkin paling membosankan yang pernah ada. Seperti yang lagi-lagi aku lakukan hari ini. Tadi pagi aku dengan sabar menunggu surat pengantar KP ku di proses. Dan sebelum aku duduk dengan tidak nyamannya di depan counter check in perpustakaan Unsyiah ini, aku sudah lebih dulu duduk dengan sabar di depan loket jurusan, menunggu bang Fahmi yang sedang menjemput anaknya di sekolah. Kalau saja boleh, daripada menunggu berjam-jam disini, aku bersedia menggantikan bang Fahmi menjemput anaknya asalkan keperluanku bisa segera diurusnya. Dan sayangnya, lagi-lagi aku tidak cukup sabar. Melihat bang Fahmi tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan segera kembali, aku akhirnya pindah menuju perpustakaan. Aku rasa lebih baik menghabiskan waktu di perpustakaan daripada menunggu sendirian di depan loket jurusan. Mungkin ada sesuatu yang bisa aku kerjakan di perpustakaan sana. Dan di sinilah aku sekarang. Di depan coun...

Oktober jangan kembali.

Oktober datang dengan malu-malu . dengan angin sepoi yang melambai-lambaikan ujung jilbabku, lalu rinai hujan yang selalu berhasil membawaku hanyut dalam rintik rintiknya yang lembut. oktober datang mengetuk pintu rumahku. membawakan sekaleng biskuit lalu dengan malu-malu ia memintaku untuk membuatkannya secangkir teh. oktober menyesap pelan-pelan teh yang kubuatkan untuknya. di luar sana, hujan seperti mengulur waktu agar oktober tidak segera beranjak. oktober tidak mengatakan sepatah katapun.  oktober tidak memberiku jalan untuk membuka pembicaraan. ia tidak tau bahwa ada banyak hal yang sebenarnya ingin kusampaikan. bahwa ada banyak hal yang sebenarnya ingin kutanyakan.ia tetap diam memainkan cangkir tehnya. ia terus diam di depanku sambil tersipu. malu? entahlah. aku terlalu naif untuk menafsirkan maksud pandang tatapnya. oktober membuatku mati kutu, oktober membuatku hanya bisa diam menyaksikannya. yang pelan-pelan datang...