Selasa malam, 18 oktober 2016
Pada malam yang lagi-lagi mendung
ini, aku mencoba segelas kopi pancung hitam seperti yang biasanya digemari oleh
kebanyakan kaum laki-laki. Malam ini, aku kembali menyusup bersama anak-anak
bidang mrk. Menyaksikan mereka yang dengan sibuk-sibuknya mengerjakan tugas. Dan
karena salah satu teman laki-laki yang memesan kopi pancung hitam itu,
melihatnya menyesap pelan-pelan kopi hitam yang menebarkan asap dari
permukaannya, aku jadi penasaran bagaimana rasanya kopi hitam yang membuat
orang-orang betah berlama-lama di warung kopi itu. Sesaat kemudian, kopi
pancung hitam yang berbuih di atas nya itu terhidang di depanku. Asap yang
keluar dari permukaannya mengeluarkan bau sedap. Aku mengaduk pelan gula yang
mengendap di punggung gelas lalu menyesapnya menggunakan sendok kecil. Pahit. Tidak
ada lain yang terasa di lidahku selain rasa pahit. Ini bukan pertama kalinya
aku minum kopi. Tapi kopi yang biasanya aku minum rasanya tidak sepahit ini.
Dan kopi yang pernah aku minum selalu kopi dengan gula yang lebih banyak dari
yang sepertinya dicampur dalam kopi yang ada di depanku saat ini dan selalu
ditambahkan dengan es batu. Kopi dingin yang rasa pahitnya sudah tidak begitu
terasa lagi. Begitulah. Belum sekalipun aku memesan segelas kopi pancung hitam seperti
ini. Jika ditanya dengan rasanya, pahit. Itu saja. Tidak ada rasa lain yang
macam-macam dalam kopi yang aku minum sendok demi sendok itu. Aku tidak terlalu
pandai mengartikan maksud rasa pahit dari segelas kopi hitam seperti yang
kebanyakan ditafsirkan oleh para penulis-penulis hebat. Aku juga tidak paham
bagaimana Andrea Hirata bisa menafsirkan berbagai macam kepribadian orang hanya
dari segelas kopi yang diminumnya dalam novel Cinta Dalam Gelas itu. Karena untuk
lidahku yang biasa-biasa saja ini, kopi yang pahit ini tidak sedikitpun dapat
membuatnya jatuh cinta. Aromanya memang sedap. Sungguh. Wanginya benar-benar
menarik. Tapi tidak dengan rasa pahitnya. Aku tidak terlalu tertarik dengan
rasa pahit yang pekat seperti itu. Aku cocok dengan berbagai macam rasa tapi
tidak dengan rasa pahit seperti kopi hitam ini.
Awan mendung yang beberapa hari
ini membungkus langit Banda Aceh kembali menumpahkan isinya, hujan jatuh dengan
pelan. Kopi dalam gelas yang ada di depanku ini tinggal setengah. Asap yang
tadi menebarkan wangi kopi hitam itu tidak lagi terlihat. Walaupun pahitnya
sangat terasa di lidah, tapi menyesapnya pelan-pelan sesendok demi sesendok di
tengah hawa dingin bulan Oktober ini juga ternyata juga cukup menarik. Kedua headset
yang terpasang di telingaku mengalunkan lagu Watch Over You nya Alter Bridge’s. Teman-temanku
yang lain masih sibuk dengan tugas-tugas nya yang sampai saat ini belum
selesai. Jam sudah menunjukkan pukul 22.06 WIB. Tidak banyak pengunjung yang
datang ke tempat ini malam ini. Hanya beberapa meja yang terisi, selebihnya
meja-meja yang tersedia masih kosong sampai saat ini. Aku tetap mengetik
tulisan ini sambil sesekali tertawa mendengarkan omongan orang-orang yang ada
di depanku. Saat tidak ada lagi kalimat yang muncul di kepalaku, aku kembali
mengaduk kopi yang mulai dingin lalu menyesapnya lagi. Pahitnya tetap terasa
sekalipun ia sudah dingin. Pahit yang sekarang mulai terbiasa di lidahku.
Lagu yang sama masih terdengar di
telingaku, sejak tadi aku terus mengulang lagu milik Alter Bridge’s itu. Tidak
ada alasan khusus selain karena memang aku menyukainya, musiknya terasa pas di
telingaku. Kopi yang tadi ku pesan kini tinggal seper enam saja. Tidak ada lagi
kehangatan dalam gelas kecil itu sekarang. Asap serta panasnya sudah menguap
sejak tadi. Teman-temanku mulai membereskan buku-bukunya, jam sudah menunjukkan
pukul 22.57 WIB. Sudah waktunya kami beranjak pulang. Aku juga akhirnya segera
menutup laptopku. Menghentikan lagu yang sudah berputar entah untuk yang
keberapa kalinya itu. setelah membayar pesanan di kasir, kami pulang dalam
hujan yang mulai mereda. Meninggalkan seper enam kepahitan dalam kopi hitam ku.
***
Aku membuka laptopku kembali
setelah lebih dari satu jam aku berusaha untuk tidur namun tidak sedetikpun
mataku yang dikelilingi oleh lingkaran hitam ini mau terpejam. Kurasa kopi
hitam yang tadi kuhabiskan cukup kuat untuk menahanku tetap terjaga sampai jam
empat pagi begini. Di luar sana, hujan lagi-lagi turun, rintik-rintik lembutnya
yang jatuh di atas atap kost-kostan kami menimbulkan irama yang juga mengalun
dengan merdu. Cukup untuk menjaga mereka tetap terlelap dengan nyenyak.
Lalu apa yang bisa kulakukan dini
hari begini selain menulis apa saja yang tiba tiba terlintas di kepalaku. Malam
yang diam dengan hujan yang bernyanyi ini selalu dapat memancing hal-hal yang
sudah aku tenggelamkan dalam hati kembali berputar-putar di kepala. Menggangguku
yang sekuat tenaga berusaha untuk tidur. Perkara-perkara yang cukup pelik
seperti rindu yang sudah lama ingin ku bunuh itu terasa begitu hidup di tengah
suasana seperti ini. Tidak ada hal lain yang bisa menghentikannya. Saat ini,
kurasa rindu benar-benar telah menguasai diriku.
Ada perasaan tidak nyaman setiap
kali rindu yang tidak kuinginkan itu tiba-tiba menguasai diriku. Karena selalu
saja kedatangannya akan disusul dengan ingatan-ingatan tentang perasaan bodoh
yang benar-benar ingin kulupakan. Aku selalu mengatakan bahwa tidak ada lagi
ingatan semacam itu dalam kepalaku. Memang benar, karena saat aku mengatakan
itu tentu saja pikiranku dalam keadaan waras. Tapi saat tengah malam begini,
maksudku dini hari di mana tidak ada satupun orang lain yang bisa ku ajak
bicara agar pikiranku tidak kacau, tentu saja rindu yang aku rasa cukup kurang
ajar itu seperti mengungkit kembali semua hal yang tidak lagi ingin ku ingat
itu.
Kau pasti tahu bukan, apa yang
akan terjadi ketika semua orang sudah terlelap tapi kau malah masih terjaga
seorang diri, ketika tidak ada satupun yang bisa kau lakukan, terlentang
sendirian menatap langit-langit kamar, akan ada banyak hal yang pasti akan
mengganggu pikiranmu. Akan ada banyak hal yang tanpa diminta pun akan dengan
senang hati menyusup dalam kepala. Biasanya aku akan lebih mengkhawatirkan pendidikan,
merancang apa saja yang akan aku lakukan kemudian hari, bagaimana seharusnya
agar aku menjadi lebih berguna dan bagaimana membuat keluarga menjadi bangga
terhadap diriku. Hanya seperti itulah biasanya dan seperti itulah seharusnya. Namun
kali ini, lebih dari itu, aku malah memikirkan hal-hal bodoh yang tidak
seharusnya ku ingat itu. Kali ini, aku malah merindukan satu orang yang tidak
seharusnya kurindukan itu. Dan lagi, tidak ada yang bisa kulakukan sesudah itu.
Setelah dengan tidak sopannya rindu itu mencampur adukkan perasaanku, aku malah
tidak tahu bagaimana harus menyikapinya. Jam empat pagi, memikirkan seseorang
yang sudah pasti tidak memikirkanmu, tidak ada yang bisa kau lakukan selain
menuliskannya. Menceritakannya dalam sebuah tulisan bahwa sedikitpun rindu itu
tidak pernah menguntungkan. Menjelaskan bahwa menyimpan rindu untuk seseorang
yang kau yakin tidak pernah merindukanmu itu tidak berguna sama sekali. sekalipun kau mencoba membunuhnya, sedalam
apapun kau mencoba menguburnya, sejauh apapun kau mencoba membuangnya, suatu
saat ia akan kembali mengacaukanmu, menyesakkan hatimu.
Untuk beberapa orang, mungkin
rindu yang menyesakkan dada itu adalah alasan yang menyebabkan mereka tidak
bisa tidur bermalam-malam. Tapi bagiku, percayalah bukan hal semacam itu yang
membuatku tetap terjaga sampai tengah malam begini. Malah sebaliknya, rindu yang
selalu menyusul di belakang. Sementara alasan yang membuatku begitu kuat terjaga
sampai dini hari begini, kali ini adalah kopi. Kopi hitam yang pahit rasanya
itu, yang malam tadi kuhabiskan sebanyak lima per enam gelas itu kurasa menjadi
alasan utama kenapa aku lagi-lagi tidak bisa tidur malam ini (walaupun biasanya
aku tetap tidak pernah bisa tidur di bawah jam satu). Dan karena itulah kali
ini perasaanku jadi kacau oleh rindu. Aku tidak ingin lagi rindu yang tidak
penting sama sekali itu menyesakkan hatiku. Dan sepertinya aku akan memilih
untuk tidak lagi minum kopi pahit yang akhirnya malah memancing rindu yang tidak
kalah pahitnya itu.
Comments
Post a Comment