Skip to main content

Hujan itu


Kau menyeduh segelas coklat panas lalu duduk di depan jendela. Biskuit kaleng yang isi nya tinggal setengah itu kau sandingkan dengan segelas coklat panas yang mengepulkan asap manis di atasnya. Namun sedikitpun kau tak menyentuhnya. Kau duduk bersila di kursi kayu. Matamu tak lepas dari hujan yang turun dengan rapat di luar sana. “Ah, hujan yang sama” katamu dalam hati. Hujan yang selalu berhasil mencuri perhatianmu.

Katamu, suatu hari, sejauh ingatanmu yang masih dapat kau gali, hujan yang pernah kau temui selalu jatuh dengan irama yang sama. Entah itu gerimis atau lebat sekalipun. Seperti hujan yang lagi-lagi membungkus kota kita sore ini misalnya, kau menatapnya seperti bertemu dengan seorang teman lama yang sudah tidak lagi mengenalimu. Kau diam-diam memandangnya dari kejauhan tanpa satu pun kata, tanpa berniat untuk memperkenalkan dirimu kembali. Hanya matamu saja yang berbicara. Hanya matamu saja yang masih dapat ku baca, bahwa kau dan hujan itu, sepertinya pernah berada dalam satu cerita yang sama.

Pernah suatu hari, karena tidak tahan melihatmu hanya duduk seperti itu, seharian mengamati butir-butir hujan yang berlomba-lomba jatuh ke bumi itu, aku memaksamu untuk menemuinya, membiarkan tubuhmu basah oleh dinginnya. Namun sedikitpun kau tak bergeming. Kau menoleh ke arahku, tersenyum sekilas lalu kembali menempatkan pandanganmu pada hujan itu lagi. entahlah, aku tidak tahu apa yang dapat kau lihat dari segerombolan butir-butir air yang jatuh berganti-gantian itu. tapi apapun itu, aku hanya menyesali satu hal asal kau tau, bahwa kenapa kau masih saja tidak mau mengakuiya. Aku sudah terlalu sering melihatmu seperti itu. akuilah saja, setidaknya hanya padaku bahwa memang kau merindukannya. Merindukan hujan itu, atau merindukan ia yang mungkin pernah kau temui dalam hujan yang jatuh seperti itu. 

Coklat panas yang tadi kau seduh tampak mulai mendingin, tidak ada lagi asap-asap tipis yang mengepul di atasnya. sejak kau letakkan segelas coklat panasmu di kusen jendela yang membingkai hujan yang tengah kau saksikan itu, kau tidak lagi menyentuhnya. Kau mungkin telah lupa dengannya. Atau mungkin kau lebih membiarkan tubuhmu dibungkus dinginnya hujan daripada tenggelam dalam kehangatan yang jelas-jelas berada di dekatmu saat ini. kau melihat jam yang melingkar di pergelangan kirimu sesekali, lalu tersenyum samar. Memperbaiki posisi dudukmu lalu kembali ke hujan. ponselmu yang berdering beberapa kali tidak juga dapat menarikmu kembali ke dunia nyata ini. iya, tentu saja. Ingatanmu mungkin sekarang sedang berlari-lari entah kemana, mungkin pada hujan pertama yang masih dapat kau ingat alunan iramanya, atau mungkin pada salah satu hujan yang pernah kau temui, dimana rindu yang menempati ruang terbanyak dihatimu itu berdiri. Atau mungkin pada hujan-hujan lainnya yang katamu selalu jatuh dengan irama yang sama. Aku tidak pernah tahu. karena memang hanya matamu sajalah yang masih dapat ku baca, bahwa seperti ada sesuatu yang tengah kau kenang, seperti ada sesuatu yang selalu datang ketika hujan dan tidak rela untuk kau lepaskan.

Ah, hujan itu. Hujan yang katamu selalu jatuh dengan irama yang sama. Hujan yang katamu lagi-lagi persis dengan hujan yang pernah kau temui sebelumnya. Aku cemburu. Pada rinai sederhana yang selalu berhasil mencuri perhatianmu. Pada sejuk hawanya yang selalu dapat mendamaikan hatimu. Aku cemburu.

Dan seperti katamu, hujan yang pernah kau temui selalu jatuh dengan irama yang sama. Entah  itu gerimis atau lebat sekalipun. Seperti halnya rindu yang memenuhi hatimu, hujan tidak pernah berubah menjadi asing. Seperti halnya kenangan yang datang tanpa sempat kau cegat itu, hujan tidak pernah berubah menjadi menyakitkan. Sebab itulah mungkin kau menyukainya, atau mungkin saja ada alasan lain yang tidak perlu untuk kuketahui.

Comments