Skip to main content

Aku Selalu Kesulitan Menentukan Judul


“Lampu padam, Malam diam, Aku masih rindu”



Aku mengutip kalimat dari novel pinjaman yang pernah kubaca saat aku masih di bangku SMA dulu sebagai pembuka catatan harian(red: tengah malam)ku kali ini. Lampu telah padam saat aku membuka laptopku. Dua temanku sudah terlelap sejak tadi. Hanya suara dari kipas angin kecil kami yang masih terdengar. Selain itu, aku rasa malam benar-benar telah diam.

Malam tadi, maksudku sebelum aku memadamkan lampu kamar dan mencoba untuk tidur,  (aku rasa sekarang sudah menjelang pagi) aku menuntaskan membaca kembali buku terakhir dari serial Drunken milik Pidi Baiq itu. Aku sebenarnya belum pernah membaca ketiga buku pertamanya. Tapi melalui Druken Marmut yang sudah berulang kali kubaca itu, aku hanya bisa mengatakan bahwa Pidi Baiq lucu. Cerita-ceritanya terasa jujur sekali, sederhana dan tentu saja menghibur. Drunken Marmut berhasil membuatku terkekeh-kekeh sampai dibagian akhirnya.  

Pertama ku buka cover buku setebal seratus lima puluh delapan halaman itu, aku menemukan coretan tangan yang mengisi penuh halaman pertama yang hanya berisi judul bukunya saja. Tentu saja itu tulisan tangan si pemilik buku yang tidak lain adalah abangku itu. Tulisan itu bertanggalkan 18 desember 2012. Empat tahun yang lalu sebelum kemudian itu buku berpindah ke tanganku dan tidak kukembalikan hingga malam (dini hari) ini. Walaupun sudah pernah kubaca sebelumnya, aku rasa aku lupa dengan isi tulisan itu dan memutuskan untuk membacanya kembali sebelum mulai membaca tulisannya Pidi Baiq. Dan tulisan dengan font size hanya sebesar biji lada (saya kesulitan mencari persamaannya) yang tidak menyisakan sedikitpun ruang ksong pada kertas itu hanya berisi sedikit komentar dan penilaiannya tentang si penulis buku.

Karena di covernya tertulis “diantar oleh Happy Salma yang manis”, aku penasaran juga untuk membaca pengantar yang memang ditulis oleh Happy Salma itu. Aku rasa ada hubungannya juga si pengantar yang namanya “Happy” itu dengan buku yang diantarnya yang memang membuat pembacanya menjadi Happy. Walaupun mungkin sebenarnya dua hal itu tidak ada kaitannya sama sekali.

Aku kemudian membaca bagian pertama buku milik kang Pidi (biar lebih akrab) sambil sedikit terkekeh. Aku terus lanjut membaca ke bagian dua buku yang diberi judul sama dengan judul bukunya. Drunken Marmut. Bagian cerita Drunken Marmut ini aku rasa yang dimaksud Happy Salma cukup dekat dengan pengalaman pribadinya pada bagian pengantar buku. Walaupun katanya rahasia, tapi aku rasa siapapun akan segera tahu bagian cerita yang dimaksud si Kak Happy (biar kebih akrab) setelah membaca pengantar dan cerita Pidi baiq di bagian dua ini.  

Aku terus membaca. Setiap bagian dari buku ini dimulai dengan gambar semacam siluet bermacam bentuk lalu diikuti subjudul di bawahnya. Kemudian pada bagian ketiga, aku menemukan tambahan kalian lain di bawah gambar dan judul. Tulisan dengan jenis huruf khas anak kecil baru belajar menulis itu awalnya kukira memang bagian dari buku aslinya. Tapi setelah beberapa bagian ke depannya aku mulai sadar bahwa itu tulisan sepertinya ulah tangan jahil salah satu keponakanku di kampung sana. Seperti pada bagian ketiga dengan judul “Mencatat Sate” di bawahnya ada tambahan kalimat “orang ini mencatat sate untuk orang yang ingin beli sate”, penjelasan yang cukup  masuk akal aku rasa. Kemudian bagian selanjutnya yang berjudul Linglung Hansip, caption nya adalah “orang linglung hansip ini bertugas untuk menjaga”, aku rasa keponakanku itu tidak begitu paham dengan maksud kata Linglung. Pada bagian dengan judul Binatang Tipu dengan gambar ilustrasi seorang perempuan dan padahal tidak ada gambar biantangnya, keponakanku itu menjelaskan maksud gambar tersebut dengan kalimat “nenek ini memberi makanan untuk binatang yang lapar”. Aku rasa ia menganggap gambar perempuan itu sebagai seorang nenek karena bentuk rambutnya yang tersanggul semua ke atas, sama seperti neneknya –tentu saja ibuku- di rumah. Kemudian ada pada bagian-bagian lainnya juga terus ada caption lain di bawah judul yang aku yakin ditulis oleh salah satu keponakanku.

Kemudian pada bagian ke delapan, aku menemukan caption yang lebih panjang. Cukup panjang malah. Dari jenis huruf dan gaya penulisannya, tentu saja itu tulisan tidak di tulis oleh keponakanku melainkan oleh si pemilik buku. Karena tulisan yang lagi-lagi font sebesar biji lada itu yang membuat perasaanku terasa sedikit sesak karena perlahan-lahan seperti ada rindu yang mulai menyusup. Tulisan itu bertanggalkan 21 Desember 2012, satu bulan sebelum seseorang yang tentu amat sangat aku dan seisi keluargaku cintai kembali ke hadapan-Nya. Tulisan itu juga ditulis di kamar rumah sakit tempat Ayah kami dirawat selama hampir dua bulan.

Ah, aku lagi-lagi merindukannya. Rindu seorang gadis yang walaupun sudah tidak pantas lagi disebut kecil namun tetap akan selalu menjadi gadis kecil bagi seorang ayah manapun kurasa. Rindu yang tentu saja lebih menyesakkan dibandingkan segala jenis rindu yang ada di dunia. Aku rasa, tidak ada jenis rindu yang lebih menyesakkan dibandingkan merindukan seseorang yang tidak lagi dapat kita jumpai di dunia ini. Seperti itulah selalu, rinduku dan tentu saja ketujuh abang kakakku, untuk ayah kami yang telah membesarkan kedelapan anaknya dengan baik akan selalu terasa lebih menyesakkan dada. Dan karena alasan itu jugalah, aku membuka cerita “tengah malam” ku kali ini dengan kutipan dari novel yang pernah kubaca bertahun-tahun yang lalu itu. Walaupun tentu saja, rindu yang dimaksud dalam novel itu berbeda pengertiannya dengan rindu yang saat ini mengganggu tidurku.

Aku jadi ingat, dulu, tidak lama setelah Ayah meninggal, aku pernah menulis sesuatu entah puisi atau apalah itu pada catatan harianku jaman dulu. Aku sempat membongkar susunan buku-buku catatan lama dalam lemari untuk menemukan tulisan kecil yang tidak lagi terhafal di kepalaku itu. Aku akhirnya menemukan tulisan yang hanya empat kalimat namun benar-benar menggambarkan perasaanku saat itu,dan tentu saja juga saat ini. kira-kira isinya begini

Datanglah ke mimipiku malam ini, Ayah
Kali ini, takkan kuminta jatah jajanku jika bertemu
Tak lagi kuminta ini itu
Karena aku hanya rindu

Tulisan yang rasanya sangat sederhana sekali. Aku ingat, aku menulisnya saat aku masih SMA dulu, tidak lama setelah Ayah dipanggil Yang Maha Kuasa.

Hei, aku jadi tidak lagi membicarakan Drunken Marmut. Tapi sudahlah, kurasaaku tidak perlu menceritakannya lagi. kusarankan untuk membacanya sendiri. Dan kalau bisa, baca juga ketiga seri lainnya yang belum sempat kubaca itu. Menurutku ceritanya cukup ringan, cocok dibaca saat saat ingin bersantai atau istirahat melepas lelah. Atau jika suatu waktu buku itu ditemukan oleh salah satu keponakan atau adikmu yang masih kecil, buku ini juga tetap bisa mereka nikmati dengan menuliskan keterangan sesukanya pada gambar-gambar ilustrasi seperti yang dilakukan keponakanku itu.  




Banda Aceh, Menjelang akhir Februari
Catatan tengah malam pertama

Comments